Waerebo: Perjalanan Menuju Desa Terindah di Indonesia
Sunday, December 8, 2019
22 Comments
Suatu kesempatan luar biasa untuk saya bisa mengunjungi salah satu desa tradisional terindah di Indonesia. Ditambah lagi desa ini sudah menjadi salah satu warisan dunia UNESCO. Apa lagi kalau bukan Desa Wae Rebo.
Jika diingat, ternyata sudah cukup lama juga saya tidak menulis. Padahal 2 bulan belakangan ini saya berada di daratan yang memiliki banyak sekali potensi alam nan luar biasa. Ya, Flores! Orang di seluruh penjuru dunia begitu mendambakan untuk dapat mengunjunginya. Mulai dari hewan yang hanya ada di Flores: Komodo, Desa Tradisional yang menarik, hingga budaya yang luar biasa: pemburuan Ikan Paus. Baru membaca saja fantasi kita sudah jauh melayang, betapa indahnya keberagaman di negeri ini.
How to get to Wae Rebo Village
Oke, mari kita bahas mulai dari gerbang awal keberangkatan sebelum menuju Wae Rebo. Labuan Bajo merupakan titik di mana kita akan memulai perjalanan, setelah itu akan dilanjukan dengan perjalanan via darat (overland). Kalian bebas memilih transportasi apa yang akan digunakan untuk menuju Labuan Bajo; pesawat, atau kapal. Bergantung pada target kalian seperti apa. Ingin memangkas waktu, gunakan pesawat. Ingin memangkas pengeluaran, gunakan kapal. Untuk saya yang memang minim sekali dananya, tentu memilih jalur darat kemudian lanjut jalur laut. Wait! Santai saja, ada tipsnya, kok. Saya sempat menulis pada artikel sebelumnya. Klik di sini (Backpackeran ke Labuan Bajo Hanya dengan 300 Ribuan!)
Langkah selanjutnya adalah menuju Desa Satar Lenda. Desa ini merupakan desa terakhir yang dapat ditempuh menggunakan kendaraan. Tepatnya berada di Kecamatan Satar Mese Barat, Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur, Indonesia. Mungkin kalian akan sedikit familier dengan kata Denge? Beberapa orang beranggapan bahwa Denge adalah nama desa terakhir, namun ternyata menurut warga, Denge merupakan nama sebuah paroki. Jadi, tepatnya adalah Desa Satar Lenda.
Saran saya, lebih baik sewa motor atau mobil di Labuan Bajo, karena transportasi umum di sana saya rasa cukup sulit dan pasti jatuhnya akan lebih mahal. Untuk menuju Satar Lenda ada beberapa jalur yang bisa digunakan; jalur melalui Ruteng, atau melalui Nanga Lili. Informasi dari kawan saya di Labuan Bajo, jalur Nanga Lili lebih dekat bahkan bisa memangkas separuh waktu. Tapiii, jalannya sangat rusak dan kita melewati pinggiran laut selatan Flores. Jadi bijaklah dalam memilih kendaraan. Saya rasa mobil pribadi non 4x4 akan sangat sulit melalui jalur ini. Butuh sekitar 3 jam kurang untuk sampai Satar Lenda, bandingkan dengan jalur Ruteng yang memakan waktu 4-5 jam. Jadi, bagaimana? Sangat memangkas waktu, kan?
Tiba di Desa Satar Lenda pukul 14.30, kami diajak mampir ke rumah Om Delis. Beliau adalah warga Satar Lenda yang di tengah jalan tak sengaja menumpahkan cengkih dari motornya, kemudian rombongan saya menolong beliau. Dari beliau kami mendapat banyak informasi tentang Wae Rebo. Mulai dari harga menginap hingga betapa beruntungnya kami datang pada saat itu. Eits, saya jelaskan nanti saja supaya penasaran, ya!. Hehehe
It's time to hike!
Sebelum memantapkan diri untuk melangkah, ada baiknya untuk mencari info tentang jalur pendakian menuju Wae Rebo. Terdapat 3 pos pendakian sebelum bisa sampai di desa. Untuk memangkas waktu, kalian bisa menyewa ojek agar dapat sampai di Pos 1. Awalnya kami ingin jalan kaki saja dari Satar Lenda, tapi menurut Om Delis jaraknya cukup jauh. Jadi, setelah negosiasi kami dapat harga yang miring untuk menyewa ojek. Tapi motor pribadi bisa saja parkir di dekat pos 1, karena beberapa pertimbangan, kami meninggalkan motor dan beberapa barang di rumah Om Delis.
Benar saja, ternyata bukan hanya cukup jauh, tapi memang benar jauuhh. Hahaha. Entah bagaimana jika kami bersikeras jalan kaki menuju Pos 1. Pasalnya jalurnya masih berupa aspal, jadi bayangkan saja jika kalian nekat jalan kaki namun masih banyak motor ojek yang berlalu-lalang. Sudah lelah kaki; lelah hati pula. Aih
Pos 1 merupakan batas terakhir aspal berada. Jadi, selanjutnya kalian harus trekking menuju Desa Wae Rebo. Tidak ada loket pembayaran di sini, semua pembayaran akan dibayarkan di atas desa. Karena efek saya yang sudah lama sekali tidak naik gunung, rasa engap pun mulai menghampiri. Saya rasa trek Wae Rebo tidak jauh berbeda dengan trek gunung di Jawa. Pepohonan sangat rapat, bahkan matahari jarang sekali menyengat kulit Bukannya dingin, rasanya malah sedikit gerah. Biasanya saya memakai celana pendek ketika trekking jika kegerahan seperti ini.
Trek menuju pos 2 masih tergolong tidak berat, walaupun engap. Maklum, badan belum menyesuaikan diri dengan baik. Hahaha
Tidak seperti trek gunung di Jawa pada umumnya, di Wae Rebo tidak ada petunjuk sama sekali tentang pos. Kami beruntung bisa trekking bareng dengan warga asli Wae Rebo, jadi banyak informasi yang didapat perihal Wae Rebo, termasuk mana saja tempat yang dijadikan pos di sepanjang jalur pendakian.
Jalan berupa tanjakan yang saya rasa masih sangat normal. Terkadang bonus landai pun kami termui ketika berjalan menuju pos 3. Di sini, kita akan mulai menjumpai jurang di kiri jalur pendakian, beda seperti jalur setelah pos 1 yang memang berupa pepohonan rapat. Trek menuju pos 3 sudah mulai banyak ditemui jalan landai nan panjang. Wah, bonussss nih! Setelah "dihajar" dengan tanjakan, landai menjadi idaman untuk para pendaki.
Pos 3 merupakan sebuah tanah landai yang mana dari pos ini Desa Wae Rebo sudah mulai terlihat dari kejauhan. Saya rasa, pos ini adalah tempat tertinggi dari keseluruhan jalur pendakian. Sebab, Wae Rebo tampak berada di sebuah lembah dan berada cukup jauh di bawah sana. Trek dari pos 3 berupa turunan tak henti-henti, seperti yang saya bayangkan sebelumnya. Jadi bisa ngebut nih ga perlu berhenti tiap kali lelah.
We arrived at the last point of Wae Rebo! Ya, last point. Sebelum kita lanjut menuju desa utama, diharuskan untuk memukul kentongan yang ada di sebuah gubuk. Itu adalah pertanda bahwa ada tamu yang datang. Dari sini saja sudah terlihat ya uniknya. Setelah selesai kami lanjut turun menuju desa, tidak lama, hanya sekitar 5 menit saja.
And finallyyy, Wae Rebo! Such a peaceful place! Gila sih, keren banget parah. Perbukitan mengelilingi seluruh desa. Kebun kopi yang tampak lebat tumbuh di tanahnya.
Mengapa saya bilang kami beruntung pada awal pembahasan tadi? Karena kami datang tepat ketika warga Wae Rebo merayakan Upacara Penti. Secara singkat, Penti merupakan sebuah upacara adat untuk memperingati Tahun Baru warga Manggarai, sekaligus ucapan syukur kepada sang pencipta dan persembahan para leluhur untuk berkah yang sudah didapat tahun lalu dan meminta berkah untuk tahun depan. Kemudian sebagai permurnian kampung dan warganya dari roh-roh jahat. Upacara ini hanya dilaksanakan sekali dalam setahun. How lucky we are, WOW!
Upacara Penti |
Yang harus dilakukan pertama kali ketika sampai adalah melakukan upacara penerimaan tamu di rumah kepala adat. Pak Alex adalah kepala adat Wae Rebo. Sebutan untuk rumah adat Wae Rebo adalah Mbaru Niang, terbuat menggunakan daun lontar dan rumah tersebut memiliki 5 tingkat.
Setelah upacara penerimaan selesai, kami diantar oleh pemuda setempat untuk pergi ke penginapan. Per malam, kami mengeluarkan uang sebesar IDR 350.000. Apa yang didapat? Pertama tempat menginap, 2x makan (malam dan pagi), bantal, selimut. Jadi, kalian tidak perlu membawa sleeping bag karena sayang saja jika tidak dipakai.Ngomong-ngomong, kami juga sangat beruntung karena dapat menikmati listrik hingga pagi, sebab Upacara Penti dilaksanakan hingga pagi. Biasanya listrik hanya menyala dari pukul 6 sore hingga 10 malam.
Day 2
"Jangan sampai bangun kesiangan!" pikir saya malam tadi. Akan sangat rugiiii jika sampai saya bangun kesiangan. Morning in Wae Rebo was soooo magical! Keren parah dah! Tidak bisa berkata-kata, hanya bisa kagum, kagum. dan kagum. "Gila ya Indonesia punya budaya kaya gini." pikir saya lagi sembari menunggu matahari meninggi. Pantas saja, orang-orang luar negeri berlomba untuk bisa datang kesini. Dan hal itu terbukti oleh banyaknya bule pada saat itu. Saya jadi merasa menjadi turis di negeri sendiri. Hehe
Setelah sarapan, para pengunjung sudah mulai banyak yang turun. Saya dan rombongan memilih untuk turun terakhir saja, lagipula kami tidak buru-buru, masih betah dengan warga dan rasa kopinya yang khas.
Hari sudah dirasa cukup siang, kami pun bergegas untuk persiapan turun. Sebab, kami juga harus melanjutkan perjalanan panjang menuju Labuan Bajo. Barang-barang sudah dikemas, kami lantas berpamitan dengan kepala adat. Rasanya berat meninggalkan keajaiban negeri yang satu ini. Singkat cerita kami turun dengan memakan waktu 1 jam 10 menit sampai pos 1. Cukup kontras jika dibandingkan dengan perjalanan naik kemarin.
Terima kasih, Wae Rebo! Semoga kelak saya bisa kembali ke sini lagi!
Total uang yang saya keluarkan untuk menuju Wae Rebo
1. Sewa motor 2 hari IDR 150.000 / 2 orang
2. Bensin IDR 25.000
3. Homestay IDR 350.000
4. Logistik IDR 20.000
Total IDR 545.000
Tips
1. Ambil uang cash di Labuan Bajo, karena akan sulit menemukan ATM di sepanjang jalan.
2. Isi bensin juga di Labuan Bajo. Full tank supaya tidak bingung cari pom bensin. Ada banyak penjual bensin eceran. Namun, harga sudah jauh berbeda.
3. Gunakan sepatu atau sandal trekking yang bisa "menggigit" tanah dengan baik.
4. Bawalah barang bawaan secukupnya. Sleeping Bag sunah hukumnya karena sudah disediakan selimut oleh pihak penginapan.
5. Bawa baterai cadangan atau power bank jika memang diperlukan.
Semakin jauh saya melangkah; semakin sadar pula bahwa ternyata saya belum benar-benar mengenal negeri ini. Kadang kita terlalu terpaku pada ingar-bingar perkotaan hingga lupa bahwa negeri ini memiliki budaya yang luar biasa.
Salam Hangat.
Angga Tannaya
Video perjalanan saya menuju Desa Wae Rebo bisa disaksikan melalui tautan berikut
Video perjalanan saya menuju Desa Wae Rebo bisa disaksikan melalui tautan berikut
Terakhir ke NTT sempat ada keinginan buat ke sini. Tapi ngebayangin mesti jalan berjam-jam langsung ciut lol. Padahal bisa naik ojek sampe pos 1. Lumayan banget, ya.
ReplyDeleteIya, Mas. Karena jalan aspal jadi orang lebih milih naik ojek saja supaya hemat tenaga. Wkwkw
DeleteTerima kasih sudah mampir 🙏🏻
Wah jauh banget2 ya.. rumah penduduknya itu jadi dalemnya ada 5 tingkat? Kegiatan sehari penduduknya apa mas?
ReplyDeleteIya jauh lumayan. Rumah 5 tingkat tapi hanya lantai dasar yang bisa digunakan, alias bolong. Namun terlihat memang banyak penyangga di atasnya. Kegiatan warga selama saya di sana hanya berkebun, dan menyiapkan suguhan untuk tamu. Mungkin karena sedang merayakan hari besar jadi tidak terlihat kegiatan sehari-harinya.
Deletedulu ku harus terseok seok berjalan kaki menuju Wai Rebo tapi semua itu terbayar dengan keindahannya dan keramahan penduduknya. Sepertinya akses sekarang jauh lebih baik dan sudah banyak operatur tur travel sepertinya. Ku datang 2007 dan susah payah menuju ke sini hehehehe
ReplyDeleteWah sudah lama juga tuh 12 tahun lalu haha. Penasaran dulu seperti apa. Tapi pasti tetap bagus ya. Semoga selalu bagus
DeleteWahhh kami jadi kangen perjalanan beberapa tahun yang lalu ke Wae Rebo. Memang disana penuh dengan keindahan alam yang luar biasa.
ReplyDeleteBeruntung sudah ke sana mas. Next pengen ke Sumba kapan-kapan supaya bisa kaya para author ibadahmimpi niihh
DeleteWih mantap banget bang ceritanya. Waerebo ini salah satu destinasi yang aku pengen kujungi banget bang tapi sampek saat ini belum kesampean hehe. Yaa setidaknya udah baca ini dulu sih, biar makin semangat nabungnya hehe
ReplyDeleteWae Rebo memang luar biasa. Suatu saat harus banget mampir ke sana haha
DeleteWah seru sekali ya petualangan ke Was Rebo. Komplit dengan perincian biaya. Kebudayaan dan Alam disana menakjubkan yaa. Sempet ngopi gak?
ReplyDeleteWah kalau kopi harus banget itu. Saya juga beli untuk persediaan di rumah hehehe
DeleteSetuju banget nih...Indonesia memang luar biasa...Saya belum dapet kesempatan ke Wae Rebo...meskipun pernah dapet kesempatan kesini tapi saya tolak..huhuhuhu
ReplyDeleteWah lain waktu harus banget menyempatkan waktu ke Wae Rebo. Ga bakal menyesal pokoknya
DeleteBaru tau kalau rumah-rumah dengan bentuk seperti itu yang biasa ku lihat di walpaper-walpaper itu nama Dnya di esa Wae Rebo NTT. Keren banget mas, jadi kalo ke NTT selain ke Labuan Bajo juga kudu kesini nih, walaupun harus jalan jauh tapi terbayarkan dengan lihat pemandangan dan suasana seperti itu. Indonesia memang luar biasa
ReplyDeleteBetuulll. Harus banget ke sini. Flores banyak banget hal menyenangkan. Saya juga pengen kapan-kapan ke sana lagi. Hehe
DeleteWah lumayan ya kalau bisa naik motor karena jalannya sudah beraspal..kalau kudu jalan kaki lumayan jugaa..indah sekali desanya...
ReplyDeleteIya, Mbak. Jalan untuk menuju desa juga parah sekali. Ngomong-ngomong saya sempat mendokumentasikan dalam bentuk video. Bisa dilihat di saluran Youtube saya: Angga Tannaya
DeleteIya, beruntung banget ini pas ada perayaan Penti ke sananya. Bagus ya tempatnya yaa :D
ReplyDeleteBagus banget, Mbak. Unik sekali budayanya
DeleteBaru aja seminggu yang lalu saya ngomongin wae rebo dengan teman sekosan. Eh ketemu cerita jalan-jalan di wae rebo. apakah ini pertanda saya mesti kesana? hehe. Semoga tahun ini kesampaian kesana. Btw, thank you untuk tips nya, noted banget.
ReplyDeleteAmin! Ga akan nyesel kalau sudah ke sana hehe
Delete