Mengenal Desa Komodo dan Keunikannya
Saturday, March 28, 2020
Add Comment
Apakah yang pertama kalian pikirkan jika mendengar kata
Taman Nasional Komodo? Hewan yang menjadi ikonnya? Keindahan Pulau Padar, Pink
Beach dan Taka Makassar? Jika iya, maka sama dengan saya. Pada awalnya saya
tidak terlalu mengetahui bahwa Pulau Komodo memiliki sebuah pemukiman yang
dihuni banyak masyarakat asli sana. Tetapi, ternyata kehidupan mereka tak kalah
menarik jika dibandingkan dengan kehidupan masyarakat tradisional lainnya.
Jika suatu saat nanti kalian mempunyai rezeki untuk
berkunjung ke area Taman Nasional Komodo (selanjutnya akan disingkat menjadi
TNK), tidak ada salahnya jika kalian menyempatkan waktu untuk berkenalan dengan
desa dan masyarakatnya. Bulan September lalu saya berkesempatan untuk
mengunjungi desa ini, dan beruntungnya saya bisa tinggal selama hampir 2 bulan.
Saya selalu senang jika diberi kesempatan untuk mengunjungi daerah yang belum
pernah saya datangi sebelumnya. Dan pengalamannya takkan bisa digantikan dengan
jumlah uang yang banyak sekalipun. Yang kita tahu, Indonesia memiliki begitu
banyak budaya yang luar biasa, dan saya rasa ini merupakan salah satu
kesempatan untuk bisa mengenali negeri ini lebih dalam lagi.
Saya berangkat menggunakan jalur darat yang dikombinasikan
dengan jalur laut untuk sampai ke Nusa Tenggara Timur. Saya bukanlah orang yang
mampu untuk membeli tiket pesawat semudah itu, apalagi tiket domestik yang
harganya relatif mahal. Jadi, kapal menjadi salah satu alternatif yang bisa dimanfaatkan.
Walaupun, konsekuensinya adalah waktu tempuhnya yang berkali lipat lebih lama
jika dibandingkan dengan pesawat.
Desa Komodo |
Lokasi Desa Komodo di mana, sih? Seperti yang saya tuliskan di atas, desa ini berada di kawasan TNK. Ada beberapa pulau besar berpenghuni yang dapat kalian temukan di sana: Pulau Komodo, Pulau Rinca, Pulau Messa, dan Pulau Papagarang. Nah, desa ini terletak di Pulau Komodo. Pulau Komodo dan Pulau Rinca adalah dua pulau terbesar dengan masing-masing spot terkenalnya. Pulau Komodo dengan Loh Liang, dan Pulau Rinca dengan Loh Buaya. Kedua spot ini merupakan tempat terbaik untuk singgah ke rumah sang naga terakhir: Komodo.
Lantas apakah masyarakatnya hidup bersama Komodo? Ya. Hidup
berdampingan dengan hewan liar dan buas memang terdengar mengerikan, pun untuk
saya pribadi. Saat pertama kali menginjakkan kaki di desa, rasanya was-was
sekali. Belum mengenal wilayah, budaya warga, dan hal minor lainnya. Apalagi
Komodo sering turun sampai ke pemukiman. Ah, sial, bikin deg-degan saja.
Hal pertama yang membekas pada diri saya adalah warganya
yang sangat bersahabat. Ramah sekali, bahkan bisa dibilang lebih ramah daripada
orang Jawa. “Stabe, Uba.” Ucap saya “Iyo, Anak.” Balas seorang warga. Stabe
berarti permisi dan Uba berarti Pak dalam Bahasa Indonesia. Selama di desa,
saya dan kawan-kawan tinggal di rumah Om Makasao, dan selanjutnya kami jadikan
posko. Uniknya, Bahasa Komodo hanya ada di desa ini saja, bahasa di Labuan
Bajo, Manggarai, Sape maupun Bima sudah lain lagi. Bahkan di Pulau Rinca pun
bahasa kesehariannya berbeda, walaupun banyak pula yang mengerti karena banyak
warga Komodo yang pindah kemudian menetap di Rinca.
“Mas, ayo sini mampir, makan kita.”, ucap seorang lelaki
paruh baya ketika saya sedang asyik bermain gitar di belakang posko. Menurut
beberapa warga, menolak ajakan atau pemberian merupakan salah satu bentuk
ketidaksopanan. Lelaki tersebut bernama Om Firman. Sembari makan, beliau banyak
sekali bercerita pada saya dan kawan-kawan tentang desa. Mulai dari hewan Komodo,
hingga kebiasaan warga sana. Hampir tiap malam saya dan para lelaki singgah ke
rumah Om Firman, bahkan saking seringnya, saya justru lebih akrab dengan Om
Firman daripada Om Makasao−sang pemilik rumah. Bercerita sambil ngopi,
melihat gelapnya laut dan gelombangnya yang kadang menerjang rumah. Kabarnya,
jika sedang “musimnya”, gelombang air bisa lebih besar lagi dan sampai ke jalan
penghubung desa.
Om Firman memiliki 2 orang anak bernama Fikar dan Felci.
Fikar merupakan siswa SMP Satu Atap Pulau Komodo, sedang Felci masih berada di
Taman Kanak-kanak. Walaupun jauh dari perkotaan (4 jam dari Labuan Bajo), warga
Komodo percaya bahwa pendidikan merupakan hal penting untuk keberlangsungan
hidup. Terdapat TK, SD dan SMP di sana. Jika mereka ingin melanjutkan ke
jenjang yang lebih tinggi, harus merantau ke kota. Entah ke Labuan Bajo, Sape
maupun Bima. Saya salut sekali, ternyata minat baca masyarakat Komodo begitu
besar. Mereka begitu menghargai adanya buku sebagai jendela ilmu. Apakah hal
tersebut masih berlaku pada Anda? Hehe
Siswa SD Satu Atap Komodo |
Selama di Komodo, saya sempat melihat hewan Komodo turun ke pemukiman sebanyak dua kali. Lewat samping masjid ketika sedang jumatan, bahkan ada seekor yang berukuran besar lewat depan posko ketika saya dan beberapa warga nongkrong di depan. Seketika warga berlarian menyelamatkan diri dengan masuk ke rumah. Ternyata, walau sudah biasa berjumpa, mereka tetap heboh saja jika ada yang lapar dan turun ke desa. Hahaha, menyenangkan sekali. Selain Komodo, pada malam hari banyak Babi Hutan yang turun ke pemukiman dengan ukuran jumbo. Akrab dengan Babi di Gunung Sindoro? Babi di Komodo lebih besar dari itu. Oleh karenanya, rumah-rumah warga di sini banyak yang berupa rumah panggung supaya meminimalisir datangnya hewan buas ke rumah mereka.
Rata-rata warga bekerja sebagai tour guide, nelayan, pembuat
patung, dan kemudian menjualnya di spot terkenal TNK. Om Firman salah satunya,
beliau menjadi penjual cenderamata khas Komodo yang biasa menjualnya di Pulau
Padar. Waktu tempuh menuju Padar dari Komodo hanya satu jam saja, tidak terlalu
jauh. Sedangkan pada tour guide biasanya bekerja di Loh Liang ataupun Loh
Buaya, memandu para wisatawan yang penasaran dengan keberadaan sang hewan
Komodo. Mereka selalu membawa senjata khasnya berupa kayu dengan 2 cabang,
seperti ketapel. Konon katanya, Komodo takut dengan benda tersebut. Menurut
warga, dahulu pernah ada komodo yang kepalanya tersangkut pada cabang tersebut,
dan membuat “perasaan traumatik” pada Komodo lainnya.
Hampir jarang sekali ada sayuran di sini. Jika kalian
penggila seafood, selamat! Kalian bisa makan seafood setiap hari. Satu kantung kresek
Ikan hanya seharga Rp. 7.500 saja. Murah? Tentu, namun sayuran di sini menjadi
mahal karena kelangkaannya. Untuk kalian para muslim, tidak usah khawatir
mencari tempat beribadah. Warga komodo 100% muslim. Saya kira awalnya tidak,
karena melihat Labuan Bajo yang penduduknya heterogen.
Karena rata-rata pulau di TNK merupakan pulau-pulau besar
nan gersang, cukup sulit mencari air bersih di sana. Warga Messa, Papagarang,
maupun Rinca harus berusaha ekstra keras untuk mendapatkan persediaan air
bersih. Bahkan, ada yang harus membelinya di Labuan Bajo, kemudian dibawa
menuju pulau dengan kapal. Beruntungnya, Pulau Komodo memiliki cukup banyak
persediaan. Banyak sumber air berupa sumur, dan telah ada bantuan diesel yang
berfungsi sebagai penyalur air untuk sampai ke seluruh warga di sana. Walaupun,
mereka harus bergantian mengisinya. Saya dan kawan-kawan biasa menunggu sampai
tengah malam−bahkan pagi−agar bisa mengisinya ke dalam penampungan di posko
kami.
Penasaran dengan Desa Komodo? Datanglah jika ada kesempatan.
Menjelajah keindahan TNK dan mengenal warga aslinya merupakan sebuah kombinasi
yang luar biasa menarik. Saya senang sekali bisa mengenal mereka.
Keramahtamahannya akan selalu membekas di memori saya. Semoga suatu saat nanti
saya bisa kembali lagi dan bisa bercengkerama dengan mereka.
Selamat bertualang! Semoga kita berpapasan.
Salam hangat,
Angga Tannaya
Sebuah cerita dari Desa Komodo (Video)
0 Response to "Mengenal Desa Komodo dan Keunikannya"
Post a Comment