Menyusuri Panjangnya Trek Curug Lawe Ungaran
Rasanya sudah sangat lama saya tidak jalan kaki menyusuri jalan setapak di hutan dengan udara yang sejuk. Ingin naik gunung, tapi malas kalau kondisi bumi sedang seperti ini, walaupun banyak pula yang sudah dibuka untuk umum−dengan banyak syarat pastinya. Namun, berada di dalam kamar kos terlalu lama stres juga. Otak saya sepertinya sudah tekontaminasi dengan lagu-lagu remix bervolume kencang yang disetel hingga subuh. Bagaimana tidak stres?
Tidak terasa sudah satu tahun sejak terakhir kali saya berkelana, sisanya hanya menikmati kota tanpa bisa melakukan apa-apa. Tapi, mau bagaimana lagi? Akhirnya untuk self-healing saya memutuskan untuk berkunjung ke beberapa tempat yang dekat saja dari kos. Salah satunya adalah Curug Lawe. Kalau yang tinggal di Semarang pasti sudah tidak asing lagi dengan nama curug yang satu ini. Bisa dibilang, namanya yang paling ngetop jika dibandingkan dengan lain. Walaupun, menurut beberapa orang kawan saya yang pernah berkunjung, pesona curug ini terbilang "B aja". Masa, sih? Karena penasaran, saya pun ingin coba melihat dengan mata sendiri.
Lokasi Curug Lawe terbilang cukup dekat dengan Kota Semarang, kalau ditempuh dari kos saya hanya butuh waktu sekitar 30 menit saja. Curug Lawe berada di Desa Kalisidi, Kecamatan Ungaran Barat dengan jalan yang mulus, walaupun sebagian sedikit nggronjal alias rock 'n roll, tapi enggak parah, sih. Aman, lah. Jalanan lumayan menanjak ketika hampir mendekati desa, tenang saja terdapat petunjuk jalannya, kok. Setelah bertemu Kantor Kecamatan Gunung Pati, maju sedikit kemudian belok ke kiri jika dari arah Ungaran, setelah itu ikuti petunjuknya. Kalau mau gampang, pakai saja GPS di HP atau GPS dalam arti lain, Gunakan Penduduk Sekitar. Hahaha
Harga tiket untuk 2 orang termasuk parkir adalah IDR 25.000, dengan masing-masing sejumlah IDR 4.000 untuk biaya operasional "new normal".
It's time to trekking!
Nah, ini yang saya tunggu. Menurut sumber yang beredar, trek menuju Curug Lawe ini termasuk jauh untuk ukuran sebuah curug. Kira-kira sekitar 1 jam berjalan kaki jika santai. Mungkin inilah yang menyebabkan banyaknya orang terlalu berekspektasi tinggi dengan Curug Lawe "jalannya jauh, seharusnya pemandangan di sana harus super bagus, dong.", mungkin orang-orang banyak yang mikir seperti itu. Mungkin, lho.
Setelah melewati jalan cor sebentar, maka para pejalan kaki diarahkan menuju arah kiri yaitu tangga menurun dengan gapura bertuliskan "CLBK", bukan yang cinta lama itu ya, melainkan Curug Lawe Benowo Kalisidi. Pepohonan pun mulai lebat, dengan jalan setapak mengikuti aliran irigasi kecil, kalau orang Jawa di tempat saya nyebutnya "kalen", alias kali kecil. Jalan sangat jelas tanpa ada persimpangan pada awal perjalanan.
Pastikan selalu hati-hati kalau melangkah menyusuri jalan setapak ini, karena sebelah kanan yaitu kalen, dan sebelah kiri langsung jurang nan dalam tanpa ada pengaman atau pembatas sedikitpun. Ngeri juga sebenarnya kalau melihat ke bawah, pastikan selalu hati-hati ya! Kalau ngantuk mendingan istirahat dahulu.
Untungnya jalan setapak ini datar lumayan jauh, hingga akhirnya bertemu dengan sebuah jembatan ikonik berwarna merah yang selalu menjadi spot foto kalau orang-orang berkunjung ke Curug Lawe. Nama jembatan itu sendiri yaitu Jembatan Romantis. Jadi, jembatan tersebut berada di atas aliran air dari kalen, dan kanan kirinya sudah jurang yang dalem buanget. Agak ngeri memang kalau sedang istirahat di sini, kemudian melihat ke arah bawah. Untungnya semua pepohonan di area jembatan sangatlah lebat, jadi walaupun panas tetap selalu teduh. Kalau tempat ini sedang berkabut, bakal ciamik banget pemandangannya.
Pemandangan sepanjang perjalanan begitu memanjakan mata, Gunung Ungaran di kejauhan; tebing-tebing tinggi menjulang; aliran air yang menenangkan; dan Lutung yang kadang turun di jalan setapak. Iya, memang masih banyak binatang liar yang ada di hutan lereng Gunung Ungaran ini, termasuk pula yang dilindungi. Kita akan berjumpa pula dengan plang larangan berburu binatang juga. Yang saya suka, jalur menuju curug terbilang cukup bersih untuk sebuah tempat wisata di Indonesia, seperti yang kita tahu bahwa wisatawan Indonesia itu memang seenaknya kalau soal sampah. Namun, pengurus curug benar-benar memperhatikan masalah ini, yaitu dengan menyediakan kantong khusus untuk sampah dan tersebar di seluruh jalur. Mantap banget, perlu diapresiasi!
Terdapat pula toilet di jalur, jadi kalau yang keburu kebelet sudah ada tempat untuk "mengamankan diri". Ada juga warung-warung di sepanjang jalur menuju curug, aman lah kalau yang lapar di tengah jalan, yang penting tetap bawa uang untuk jajan. Hehehe
Setelah kira-kira 40 menit berjalan, sudah mulai banyak ditemui jalur menanjak. Tapi, untuk saya yang sering mendaki, tanjakan ini masih terbilang aman. Enggak terlalu bikin ngos-ngosan juga. Mungkin karena efek dari lingkungan juga yang membuat rasa lelah seakan tidak terasa, pohon yang rimbun dan air dari sungai kecilnya yang seger bangeett. Mungkin kalau terik tetap saja capek, untungnya sih teduh banget.
Kita akan bertemu sebuah percabangan, jika ingin ke Curug Lawe ambilah ke arah kanan; jika ingin ke Curug Benowo ambilah ke arah kiri. Ya, Lawe dan Benowo merupakan dua buah curug yang berbeda, namun lokasinya berdekatan. Menurut petugas, Curug Lawe justru memiliki jarak yang sedikit lebih jauh dari persimpangan tadi. Tapi, entah mengapa sepertinya Lawe lah yang lebih sering dikunjungi. Apakah Lawe lebih indah?
Setelah melewati persimpangan, kita akan "dihajar" 500 meter tanjakan terakhir. Menurut saya tetap masih aman juga tanjakannya, kalau saya ingat hanya satu saja yang paling curam, tapi bentuknya anak tangga. Oh ya, banyak peringatan bahaya longsor di sepanjang jalur, jadi tetap patuhi semua peringatan yang ada supaya kita bisa meminimalisir terjadinya kecelakaan. Intinya, jangan terlalu lama berdiam diri di sebagian daerah jalur menuju curug. Jika diperhatikan, memang ngeri juga, karena kita seperti membelah tebing yang lumayan tinggi.
Tanjakan terakhir |
Peringatan rawan longsor |
Tanjakan anak tangga terakhir sudah terlewati, akhirnya sampai juga di Curug Lawe! Wahhh, ini sih bagi keren sekali. Pesonanya cukup berbeda dari air terjun lainnya, kita seakan berjalan menyusuri lembah dan Curug Lawe ini adalah end point-nya.
Udara di sini dingin, mungkin karena matahari tidak bisa menyentuh daerah ini. Ditambah kita berada di lembah dengan angin yang lumayan "menghantam" tubuh. Bagi saya pribadi, Curug Lawe ini enggak seburuk yang orang katakan, kok. Curug ini memiliki keistimewaannya sendiri, mungkin karena jauhnya langkah kaki saya untuk sampai di curug, sehingga rasa lelahnya langsung terbayar. Jika kita melihat banyaknya curug yang diharuskan untuk turun dahulu, Curug Lawe mengharuskan para pengunjung untuk mendaki dahulu. Saya biasanya malas membayangkan jalan pulang menanjak yang dimiliki curug lain, untung di Lawe ini semuanya turunan. Lega jadinya. Hahaha
Hanya ada beberapa pasang pengunjung di sini, sesuai yang saya inginkan. Jadi, suasananya benar-benar bisa menenangkan pikiran yang sudah lama ruwet karena bisingnya lingkungan saya.
Usai puas menikmati curug, berfoto, dan merekam footage video, saya pun memutuskan untuk segera turun. Hal ini karena waktu sudah menunjukkan pukul setengah 4 sore, paling tidak kita harus sudah sampai gerbang pukul 5, mengingat jalannya yang enggak dekat. Maka dari itu, hal tersebut harus jadi pertimbangan. Dan, ternyata saya jadi pengunjung terakhir Curug Lawe pada hari itu. Hahaha. Sepertinya saya terlalu lama untuk mengambil foto saat jalan pulang.
Sepertinya kita memang harus menilai sesuatu langsung dari apa yang kita lihat, ojo nilai sesuatu ming seko jarene, artinya jangan menilai sesuatu hanya dari katanya. Dan kalimat tersebut terbukti pada saya, faktanya saya justru menyukai keunikan curug satu ini. Jadi, jika kalian ingin berkunjung, langsung saja berangkat. Jangan lama-lama mikirnya! Hehehe
Selamat berkelana, semoga kita berpapasan!
Salam hangat,
Angga Tannaya
Video tentang Curug Lawe yang saya buat:
0 Response to "Menyusuri Panjangnya Trek Curug Lawe Ungaran"
Post a Comment