Menjelalah Telaga Menjer dan Padang Sabana Pangonan (Dieng Bagian 1)
Saya selalu rindu dengan udara dingin di pegunungan, tetapi keadaan saat ini memaksa saya untuk berdiam diri berbulan-bulan di rumah. Keluar paling mentok hanya di area kota saja, kalau saking enggak tahannya dengan rasa penat, saya hanya muter-muter setelah subuh kemudian mampir ke area pegunungan menggunakan motor sendirian. Kebetulan Magelang punya beberapa tempat menarik, banyak juga yang sedang naik daun namanya. Ah, rasanya rindu sekali bisa menyaksikan matahari terbit sembari menyesap kopi di tengah udara dingin. Sepertinya saya bukan hanya kangen dengan alam, melainkan momen bertualang ke suatu daerah di luar tempat tinggal saya sendiri.
Rasanya pengen banget untuk pertama kali dalam tahun 2020 ini saya puaskan hasrat untuk menikmati lanskap ciamik di Dieng. Entah mendaki gunung-gunung di sana, atau dengan cara lain. Tetapi, apakah Dieng sudah bisa dikunjungi para wisatawan di masa seperti ini?
Setelah saya riset dan tanya-tanya dengan orang, Dieng sudah dibuka untuk wisatawan sejak beberapa waktu lalu. Wah, sejumlah tempat-tempat menarik langsung melintas di pikiran saya. Pagi-pagi berburu sunrise di atas pemukiman warga dan menikmati Telaga Warna dari ketinggian sepertinya bakal jadi rencana yang sempurna. Pasalnya saya sudah berkali-kali mengunjugi Dieng tapi belum pernah kesampaian untuk lihat telaga tersebut dari spot yang saya inginkan.
Akhirnya menyesuaikan dengan jadwal, saya pun berencana untuk pergi ke Dieng pada tanggal 4 November 2020. Kali ini saya berangkat bersama partner saya untuk segala hal termasuk traveling, Agatha. Tapi, sebenarnya saya sedikit galau mengingat November ini merupakan bulan yang biasanya hujan turun setiap hari tanpa jeda. Maka dari itu saya enggak mau rencana saya gagal karena hujan, tapi di sisi lain saya juga sudah malas kalau harus menunggu tahun depan. Ah, aku sungguh kesal dengan ketidakpastian ini. Hahahaha
Dengan modal yakin dan berdoa, saya pun mantap untuk langsung cus saja tanggal 4 November. Saya tentu enggak pasrah begitu saja, berusaha semaksimal mungkin untuk menghindari cuaca yang beberapa hari sebelum keberangkatan selalu hujan antara siang dan sore hari. Maka dari itu paling tidak saya sudah sampai Wonosobo ketika hari belum terlalu siang. Saya pun memutuskan untuk berangkat pukul 04.00 pagi dari Kota Semarang menggunakan sepeda motor. Dan ternyata molor, jadinya pukul 04.30 saya baru berangkat, hehehe. Ya, kali ini saya berangkat dari Semarang, karena sekarang lebih sering tinggal di Semarang. Lebih jauh memang jika dibandingkan berangkat dari Magelang. Tapi, ya sudah pelan-pelan asal selamat. Ya, kan?
Niat saya pada awalnya adalah sampai di Wonosobo sebelum pukul 07.30, kemudian cari sarapan dahulu, setelah itu baru deh lanjut perjalanan ke Dieng. Tapi, syukur sekali jalanan beuhh sepi banget. Jadi, sebelum pukul 07.00 saya sudah sampai di Wonosobo, lumayan kan buat istirahat dulu. Karena bingung mau sarapan di mana dan masih terlalu pagi juga, saya pun coba cari tempat makan yang sudah buka melalui Grab. Numpang lihat doang, enggak sekalian order. Haha. Dan akhirnya saya nemu nih satu tempat makan yang murah banget, tapi kok saya cari di maps enggak ketemu, padahal di Grab ada titik koordinatnya. Saya cari di Google juga enggak ada. Saya sudah curiga, jangan-jangan tempatnya pelosok masuk perkampungan warga.
Setelah sedikit melakukan pencarian menggunakan GPS (Gunakan Penduduk Sekitar), saya akhirnya nemu juga tempatnya. Hm, ternyata memang benar-benar enggak seperti tempat makan. Dugaan saya, sepertinya warung makan ini lebih sering menerima pesanan online mungkin ya. Karena sudah sampai dan tanya-tanya, ya sudah pesan saja. Enggak enak kalau misalkan enggak jadi, keburu lapar juga habis perjalanan jauh. Saya memesan satu paket Nasi Megono lengkap dengan teh hangat dan tempe kemul (gorengan khas Wonosobo), ternyata rasanya enak bangeett. Pantas saja rating di Grab bagus. Benar-benar enggak nyangka saya. Hahaha
Bagi yang penasaran, nama warung makan ini adalah Warung Thamul-Thamul. Lumayan banyak kok menunya, ada bubur kemudian soto dan megono. Saya hanya menghabiskan biaya Rp. 17.000 untuk satu bubur dan megono termasuk teh hangat dan gorengan. Murah pol!
Oke lanjut ke perjalanan.
Telaga Menjer
Tiket masuk ke Telaga Menjer hanya Rp. 5.000,- per orang dan Rp. 3.000,- untuk parkir motor. Murah banget pokoknya. Saat sampai saya enggak terlalu tertarik dengan spot yang dekat dengan pintu masuk karena banyak hiasan yang "Indonesia" banget, saya lebih senang yang natural tanpa ada benda-benda buatan manusia yang kurang masuk selera saya. Enggak ada salahnya, lagipula banyak sekali masyarakat yang senang untuk foto di spot seperti ini, tetapi ya bukan selera saya saja.
Akhirnya saya memutuskan untuk mencari spot sendiri yang lebih baik dan natural. Saya iseng melewati jembatan di sebelah pos tiket dan mencari jalan menuju satu tempat yang terlihat hijau dengan batu-batu. Dan nemu juga akhirnya, ternyata memang ada jalannya hanya saja tidak ada petunjuk arah. Kalau orang yang enggak sengaja muter-muter mungkin bakal enggak nemu jalannya. Pokoknya tinggal cari jalan dengan pembatas berwarna merah, dan ikuti saja sampai bisa dekat dengan pinggir danau.
Pagi itu sangat sepi, hanya ada 2 orang cewek yang sedang joget buat TikTok sepertinya. Senang banget saya akhirnya bisa nemu tempat sepi buat foto dan menenangkan diri. Saya berharapnya kabut turun supaya terlihat dramatik, tapi ternyata cerah banget dan cenderung panas. Tapi tidak apa-apa, tetap bersyukur. Daripada hujan malah repot kan nanti yee.
Sudah puas menikmati Telaga Menjer, saya memutuskan untuk melanjutkan perjalanan ke Dieng. Niatnya, saya mau mampir dulu ke Tani Jiwo Hostel untuk melunasi pembayaran sekaligus mau titip barang karena mau explore daerah sana. Ngomong-ngomong saya sudah membuat artikel khusus tentang penginapan Tani Jiwo ini. Klik di sini
Karena ternyata saya sudah bisa check-in, saya bisa menyimpan barang-barang dengan aman di loker kamar. Rencananya saya akan mendaki sebuah bukit kecil di Dieng bernama Gunung Pangonan, tetapi bukan menuju puncaknya melainkan menuju padang sabananya. Yes! Dieng ternyata punya padang sabana yang bagus banget!
Padang Sabana Gunung Pangonan
Tiket masuk per orang adalah Rp. 10.000,- dan Rp. 2.000,- untuk parkir motor. Dari awal pos tiket tidak terlihat sama sekali bahwa ada padang sabana di sini. Karena hanya ada bukit yang terlihat biasa saja seperti tidak ada tempat menarik di atasnya. Pada awal trek, kita akan menaiki sebuah tangga untuk melewati pipa besar milik PLTU. Setelah itu jalan cukup menanjak, dan trek terlihat sangat jelas. Beruntung sekali sore itu Gunung Pangonan sangat sepi. Saya tidak bertemu sama sekali orang pada awalnya.
Untuk sampai sabana, kita akan melewati 6 buah pos semi permanen beratapkan terpal. Kalau saya lihat bentuknya ada yang malah mirip seperti warung, mungkin bakal ada yang jual ketika weekend, tapi berhubung saya berkunjung saat weekday jadi pos-pos ini bisa digunakan duduk dan istirahat. Jarak masing-masing pos ini terbilang dekat. Setiap berjalan 10-15 menit kita akan bertemu dengan pos-pos tersebut. Enggak seperti gunung-gunung tinggi biasanya yang setiap pos jarak tempuhnya bisa lebih dari 4 jam. Amsyooong
Trek menuju sabana ini terbilang cukup mudah menurut saya. Beberapa spot terjal namun justru lebih banyak tanjakan yang biasa saja, dan sisanya landai kemudian jalan turunan. Saya malah kadang malas dengan jalan turun ketika naik gunung, itu berarti kita harus menyimpan tenaga untuk turun gunung yang naik. Eh, gimana, sih? Tanjakan ketika turun gunung maksudnya. Begitu deh. Hehehe
Sebelum sampai sabana, kita akan bertemu dengan sebuah persimpangan. Jika tujuan kalian adalah ke puncak, pilihlah jalur ke kanan. Jika ingin ke sabana tinggal lurus saja, turun sampai sabana. Setelah sekitar 45 menit saya akhirnya sampai di sabana. Yeay! Akhirnya merasakan sensasi trekking ke gunung juga walaupun enggak terlalu tinggi setelah 8 bulan hanya naik turun ke kasur buat rebahan. Hahaha
Lagi-lagi, sore itu saya berharap supaya kabut turun supaya bisa menghasilkan foto yang unik dan adem-adem. Sebenarnya sore itu tidak terlalu cerah, justru cenderung mendung, namun ternyata kabut enggak kunjung turun. Hadeuh. Tidak apa-apa, deh. Saya hanya takut keesokan harinya kabut justru turun ketika saya sedang tidak berharap. Karena rencananya saya akan berburu sunrise di Dieng setelah sekian lama. Wah, enggak sabar!
Luasnya Sabana Pangonan Dieng ini berasa milik pribadi karena enggak ada orang lain, hanya ada saya dan Agatha. Wah, harus dipuaskan untuk foto-foto, nih! Bener-bener kangen saya sama suasana sepi seperti ini, damai banget rasanya. Sudah pusing sekali dengan suasana kota dan kebisingan di kos. Ternyata beberapa saat setelah foto-foto, ada pengunjung lain pula yang datang.
Karena dirasa hari sudah sangat sore, saya memutuskan untuk kembali ke basecamp. Ternyata pengunjung tadi sudah pulang dahulu sebelum saya. Dan lagi-lagi kami menjadi pengunjung terakhir pada sebuah tempat wisata. Haha. Saya hanya takut keburu hujan karena mendung, terlebih takut kalau hari mulai gelap karena saya tidak membawa headlamp. Maklum, memang tidak berniat untuk bermalam.
Seperti biasa, jalan turun selalu lebih cepat dibanding ketika naik. Walaupun sebenarnya sama-sama harus menghadapi tanjakan yang lumayan bikin capek. And finally we arrived at the base, and ready to go back to the hostel! Leyeh-leyeh, istirahat, makan, tidur, kemudian menyiapkan diri untuk sunrise esok hari. Semoga enggak mendung, dan semesta berpihak kepada kami! Aamiin
Bersambung...
Baca cerita lanjutannya, klik di sini!
Salam hangat,
Angga Tannaya
wah buat foto prewedd juga mantap ya kak :D bagus banget pemandangannya, sukaaaa!
ReplyDeleteIya bagus memang, apalagi kalau sepi gitu cakep buat foto-foto. 🔥
Delete