Batu Pandang Ratapan Angin dan Matahari Terbit Terbaik (Dieng Bagian 2)
Kalau
dipikir-pikir ternyata saya sudah lama sekali enggak update artikel di blog ini
ya. Terhitung sejak 2021 saya belum menulis artikel sama sekali. Mohon maaf
bagi yang menunggu cerita lanjutan Dieng Series ya, karena saya ada pekerjaan
seputar dunia ketik-mengetik pula yang harus segera diselesaikan. Jadi, mau
enggak mau harus kalah salah satu. Hehehehe. Selagi kali ini sedang enggak ada
satu kegiatan mendesak, jadi saya sempatkan buat nulis lagi.
Masih
ingat perihal perjalanan saya kemarin di Dieng? Bagi yang penasaran dengan cerita sebelumnya, klik di sini! Jadi, ceritanya terputus saat
hari pertama kedatangan saya. Lebih tepatnya sih ketika saya turun dari Padang
Sabana Bukit Pangonan. Karena sudah mulai capek badan, tanpa perlu
mampir-mampir lagi saya langsung saja kembali ke penginapan. Kebetulan ini merupakan
kali pertama saya bermalam di Dieng tanpa perlu gelar matras, bangun tenda, dan
masak pakai kompor portable. Tidur nyaman pokoknya karena perjalanan
Semarang-Dieng itu lumayan jauh, apalagi pakai sepeda motor. Hehe
Tempat
menginap saya adalah Tani Jiwo Hostel. Asli, nyaman sekali tempat ini. Walaupun
konsepnya hostel, saya enggak sekamar dengan orang yang tidak saya kenal. Jadi
ya bisa dibilang kamar private walaupun tipe kamar dorm, tapi yang penting mah
nyaman karena masa susah karena virus seperti ini hehehe. Oh ya, ngomong-ngomong saya sudah menulis artikel terpisah
mengenai Tani Jiwo. Bagi yang penasaran langsung saja mampir, klik di sini.
Selepas
sampai di hostel, saya hanya menikmati fasilitas yang ada di sana sembari
istirahat dan cari-cari informasi mengenai tempat selanjutnya yang akan saya
kunjungi yaitu Bukit Scooter dan Batu Pandang Ratapan Angin. Rencananya saya
akan keluar dari hostel setelah subuh supaya enggak ketinggalan momen sunrise.
Tapi, posisinya di sini sebenarnya saya sedikit khawatir karena kedatangan saya
waktu itu adalah pada bulan November yang sudah terkenal sekali slogannya
“November Rain”, yesss hujan muluuu tiap hari. Jadi, saya sebisa mungkin harus
menurunkan ekspektasi supaya jika kebetulan lagi apes, saya enggak terlalu
kecewa. Setelah bersih-bersih dan istirahat di hostel sampai malam, saya
sengaja tidur lebih awal supaya enggak kesiangan esok hari.
Hari kedua
Bunyi
alarm di handphone saya mulai berbunyi dengan lantang. Saya pun perlahan
membuka mata saya yang sebenarnya dibarengi rasa malas yang luar biasa. Tetapi,
mengingat saya jauh-jauh ke sini salah satunya untuk berburu sunrise, saya
paksakan supaya badan tidak menempel kasur dan segera pergi membasuh muka di
wastafel. Dinginnya Dieng selalu berhasil membuat saya meringkuk di balik
selimut tebal kembali setelah dari toilet. Saya ingat betul suhu udara saat itu
11 derajat celcius ketika saya cek di aplikasi weather forecast. Berbekal jaket
tebal saya niatkan supaya segera packing kamera saya supaya bisa cepat-cepat
keluar kamar untuk hunting.
Tidak
ada penghuni hotel yang bangun saat itu, kalau saya enggak ada misi berburu
sunrise mungkin saya juga akan memilih untuk meringkuk di balik selimut sembari
menunggu hari mulai menghangat dan langsung sarapan di hostel. Dan benar saja,
keluar hostel rasanya lebih dingin, faktor angin juga walaupun sebenarnya pagi itu
cukup bersahabat. Saya benar-benar tidak berekspektasi tinggi pagi itu, langit
masih cukup gelap dan saya belum bisa
memperkirakan cuaca di sana.
Berbekal
dengan GPS lokal alias Gunakan Penduduk Sekitar saya melaju ke arah dinding
ikonik Dieng dari hostel. Menurut warga, saya hanya perlu menemukan Polsek
Dieng, dan masuk ke gang di depan Polsek persis. Tanpa melihat maps, saya pun
ikutin saja petunjuk yang sudah diberi. Enggak tahu kenapa saya lebih yakin
dengan petunjuk dari warga daripada maps, sudah berapa kali kalian nyasar
karena maps? Saya banyak sekali. Haha
Jalan
menuju ke Bukit Scooter terbilang tanjakannya tajam untuk sebuah motor matic.
Sampai-sampai yang membonceng harus turun karena enggak kuat haha. Jalan
beberapa sudah berupa paving semen dan beberapa batu. Namun, setelah melihat ke
arah timur ternyata kok matahari sudah lumayan meninggi. Sayang sekali kalau
saya melewatkan pemandangan pagi itu dan memaksakan untuk terus lanjut sampai
ke bukit. Akhirnya dengan pertimbangan waktu yang mepet, saya melipir di
pinggir jalan. Mencari spot terbuka yang ternyata kalau dilihat enggak terlalu
jauh bagusnya dibanding dengan Bukit Scooter. Dan GRATIS! Hehehehe.
Saya
benar-benar bersyukur pagi itu, akhirnya untuk pertama kali saya bisa
menyaksikan matahari terbit yang indah sekali ketika situasi dunia sedang kacau
balau karena virus menyebalkan. Sumpah, rasanya rindu sekali saya bisa
menyaksikan matahari terbit di ketinggian. Rasanya seperti saya sedang mendaki
lagi seperti sedia kala. Matahari tampak terbit di balik Gunung Sindoro di
kejauhan yang tampak berpayung awan di puncaknya tanda badai sedang menerjang.
Memori
kamera dan memori di diri saya seakan penuh dengan lanskap cantik pagi itu.
Saya benar-benar bersyukur akhirnya bisa menikmati salah satu tempat favorit
saya yang penuh dengan cerita pribadi. Walaupun udara Dieng sedang dingin, tapi
rasanya entah mengapa saya begitu menikmati suasanya. Sumpah, rindu sekali
mendaki.
Setelah
puas dengan spot gratisan kali ini. Saya pun memutuskan untuk mengunjungi sebuah
tempat yang belum pernah saya kunjungi sebelumnya walaupun saya kalau
dihitung-hitung sudah 8 kali mengunjungi Dieng. Namanya Bukit Pandang Ratapan
Angin. Eh, sebenarnya dulu sudah pernah, tetapi hanya sampai di tempat
parkirnya saja karena hujan deras setelah turun dari Gunung Prau beberapa tahun
lalu. Karena saat itu kecewa, akhirnya pada kesempatan kali ini saya harus bisa
mengunjungi tempat cantik satu ini. Lokasinya tidak jauh dari spot sunrise
tadi, sekitar 10 menit saja untuk sampai ke lokasi parkirnya.
Biaya
untuk masuk ke sini adalah Rp. 10.000,- per orang, sedangkan parkir Rp.
3.000,-. Pagi itu Batu Pandang terbilang sepi karena saya datang memang saat
weekdays. Saya memang sengaja datang saat weekdays karena saya enggak mau repot
untuk antri berfoto, dan enggak mau repot untuk menghapus orang-orang di
bingkai foto menggunakan photoshop. Betapa beruntungnya saya, cuaca pagi itu
sangat bersahabat. Terlihat kabut menutupi sejumlah gunung di area Dieng, namun
matahari tetap memancarkan cahayanya dengan hangat. Terlihat Telaga Warna dan
Telaga Pangilon sangat terlihat jelas dari batu pandang ini. Sudah lama sekali
saya memimpikan spot ini dan akhirnya terwujud juga.
Puas
dengan Batu Pandang Ratapan Angin, saya pun memutuskan untuk kembali ke hostel.
Namun, sebelumnya saya sempatkan untuk mencari gorengan khas Dieng dan Wonosobo
yaitu Tempe Kemul panas dan sekaligus sarapan di resto milik Tani Jiwo. Udara
Dieng yang dingin sekali dan kemudian dipadupadankan dengan kopi panas dan
Tempe Kemul sepertinya sangat nikmat untuk menutup perjalanan hari itu.
Saya
sangat bersyukur perjalanan kali ini sangat berkesan. Menyaksikan sunrise
terbaik di tahun 2020 bersama orang terkasih. Saya benar-benar tidak sabar
untuk bisa segera menjelajah negeri ini lagi ketika kondisi sudah memungkinkan.
Rindu sekali dengan Semeru dan Ranu Kumbolonya. Semoga dunia ini segera membaik!
Selamat
berkelana. Semoga kita berpapasan!
Salam
hangat,
Angga
Tannaya
0 Response to "Batu Pandang Ratapan Angin dan Matahari Terbit Terbaik (Dieng Bagian 2) "
Post a Comment